Robohnya Mahkamah Kami

IMG-20241029-WA0003

Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH.,MS, Guru Besar Universitas Nasional Jakarta.(poto:Hilman/dok.ideNews)

ROBOHNYA MAHKAMAH KAMI

oleh : Basuki Rekso Wibowo

Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional

 

JAKARTA | ideNews - Pada saat ini campur aduk perasaan di kalangan hakim. Ditengah euforia berlakunya PP No. 44 Tahun 2024 terkait peningkatan kesejahteraan hakim, tiba tiba muncul kasus memalukan oleh sejumlah oknum hakim. Putusan bebas PN Surabaya terhadap GRT - terdakwa pembunuhan terhadap DSA – telah menggemparkan publik Indonesia. Sejak awal banyak pihak menaruh prasangka “ada sesuatu” dibalik putusan itu. Tentu saja kecurigaan itu tidak mudah dibuktikan. Komisi Yudisial merekomendasikan pemecatan majelis hakim yang bersangkutan. Seperti biasa, Mahkamah Agung terlambat menyikapi. Bahkan cenderung membela diri. Secara normatif berkilah tentang independensi dan putusan harus dihormati. Namun akhirnya prasangka publik terjawab.

Tim Kejaksaan Agung berhasil menangkap dan menahan ED, M dan HH – majelis hakim ditempat tinggalnya. Ditemukan tumpukan uang yang diduga gratifikasi terkait putusan bebas tersebut. Tim Kejaksaan Agung selanjutnya menangkap dan menahan LR – advokat yang diduga melakukan penyuapan. Paling menggemparkan ketika ZR – mantan pejabat tinggi MA – ditangkap juga. Diduga terlibat pat gulipat tersebut. Ketika dilakukan penggeledahan di rumah ZR. Telah ditemukan sejumlah uang dan logam mulia dalam jumlah fantasis. Tidak sesuai dengan profilenya sebagai pegawai negeri sipil. Pejabat structural eselon 1 sekalipun. Terkonfirmai bahwa itu hasil jasa pengurusan perkara sejak 2012 sd 2024. Edaaan tenaaan. Saya jadi teringat ungkapan “Gusti Allah Mboten Sare”, “Kejahatan Tidak Pernah Sempurna”, “Melik Nggendong Lali”, serta akhirnya “Kebenaran Menemukan Jalannya Sendiri”.

Selain itu, mengingatkan saya judul novel klasik karya AA Navis “Robohnya Surau Kami”, mungkin untuk peristiwa kali ini perlu ditulis judul “Robohnya Mahkamah” kami. Sabastiaan Pompe pernah menulis buku berjudul “The Indonesian Supreme Court : A Study of Institutional Collapse” (2005) yang kemudian diterjemahkan (2014). Namun ternyata itu semua, seolah terbang begitu saja, hilang bersama angin.

 

HAKIM JABATAN MULIA ?

Dalam persidangan, seringkali majelis hakim disebut sebagai “yang mulia”, meskipun tidak jelas apa dasar hukumnya. Sejatinya, hakim adalah jabatan mulia (noble profession). Bahkan terdapat mitos yang masih di-ugemi, bahwa hakim merupakan wakil Tuhan di dunia. Mengingat hakim memiliki wewenang menentukan nasib para pencari keadilan.

Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH.,MS, Guru Besar Universitas Nasional Jakarta.(poto:Hilman/dok.ideNews)

Tentu saja tidak semua orang sepakat terhadap mitos tersebut. Termasuk saya juga tidak sepakat. Tuhan tidak pernah mewakilkan atau mendelegasikan kewenangannya kepada manusia. Termasuk mendelegasikan kepada manusia yang menjabat sebagai hakim sekalipun. Hakim bukan Tuhan, tetapi hakim juga bukan setan. Hakim adalah manusia biasa sebagaimana apa adanya. Hanya karena jabatannya diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus setiap perkara.

Independensi hakim dijamin secara konstitusional. Siapapun tanpa terkecuali, tidak boleh melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung. Kendatipun demikian, independensi harus digunakan sebagaimana mestinya. Hakim tidak boleh berlindung di balik prinsip independensi. Bertindak semau gue yang justru bertentangan dengan keluhuran harkat dan martabat jabatannya. Dalam praktiknya, masih kerap terjadi penyuapan, gratifikasi, terhadap (oknum) hakim untuk mempengaruhi putusan. Praktek-praktek kolutif semacam itu, meskipun secara hipokrit akan selalu disangkal keras. Memang tidak mudah membuktikannya.

Praktek culas sesuai prinsip ”podo penake”, hati-hati, rapi, TST, serta meminimalisasi jejak bukti. Pepatah bijak mengatakan bahwa sepandai pandai tupai melompat, suatu saat terjatuh juga. Terbukti dalam beberapa kasus besar yang terjadi belakangan ini. SD dan GS oknum hakim agung, juga HH dan NH mantan SekMA dan lain lain telah diadili dan dijatuhi hukum. Kendatipun demikian tanpa rasa sungkan, malu, ataupun takut, tetap saja dilakukan. Melalui modus operandi yang lebih canggih.

Modus operandi kejahatan terus berkembang biak dan memperbarui diri. Seharusnya diimbangi dengan penegakan hukum yang keras terhadap siapapun pelakunya. Tanpa mengurangi rasa hormat, Advokat sebagai representasi kepentingan klien, memiliki potensi yang paling besar untuk mempengaruhi proses penegakan hukum, termasuk putusan hakim.

 

PENGAWASAN TERHADAP HAKIM

Lord Acton mengatakan “power tends to corrupt”, and “absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan memiliki tendensi disalahgunakan untuk melakukan korupsi. Kekuasaan dalam bentuk apapun, bagi pemangkunya terdapat potensi disalahgunakan. Secara individual, manusia memiliki kecenderungan berbuat sesuka hati, tanpa pembatasan dan pengawasan sama sekali. Ungkapan tersebut vis a vis berlaku pula pada kekuasaan (kewenangan) hakim. Masih terdapat sejumlah (oknum) hakim dan pejabat pengadilan yang berkolusi dan memperjualbelikan kewenangan untuk mencederai keadilan.

Praktek kolutif dan koruptif di lingkungan peradilan (judicial corruption) sebenarnya bukan merupakan berita baru. Hal itu sudah lama terjadi, hanya saja yang membikin miris justru makin massif setelah reformasi 1998. Bukan alasan minimnya kesejahteraan hakim. Kesejahteraan hakim dan pejabat pengadilan relatif sudah cukup memadai untuk hidup wajar dan tidak berlebihan. Selera, gaya hidup dan cara hidup yang tidak wajar, merupakan salah satu penyebab terjadinya kecenderungan kolutif dan koruptif dalam penegakan hukum.

Dorongan bisa datang dari lingkungan kerjanya, lingkungan sosial, lingkungan keluarga, atau dari dirinya sendiri. Tidak sepatutnya hakim maupun keluarganya memamerkan gaya hidup secara hedonis dan berlebihan. Hal tersebut menimbulkan prasangka buruk terkait asal usul sumber penghasilannya. Gaji dan tunjangan hakim, maupun penghadilan lainnya tentunya sudah dapat dinilai kewajarannya.

Untuk menjaga dan memastikan agar tidak terjadi praktek penyimpangan, diperlukan pengawasan secara intensif dan berkelanjutan terhadap semua aparat penegak hukum. Bukan hanya pengawasan terhadap hakim, melainkan pengawasan terhadap semua pemangku kepentingan dalam penegakan hukum. Kepolisian, kejaksaaan, advokat, dan lainnya sesuai lingkungan masing masing. Pengawasan terhadap hakim tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Hakim harus tetap dijamin kemerdekaannya meskipun dalam waktu yang sama terhadapnya harus terus dilakukan pengawasan. Pengawasan internal terhadap hakim dilakukan oleh Badan Pengawasan, sedangkan secara eksternal oleh Komisi Yudisial. Seharusnya secara simultan pengawasan oleh pers, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang agung.

 

MENCARI HAKIM IDEAL

Idealnya, jabatan hakim dijalankan oleh manusia manusia pilihan, yang terbaik diantara yang baik (primus inter pares). Tidak semata mata dari segi kompetensi dasar dan teknis, melainkan juga soft competency yang terkait dengan integritas, moralitas, kejujuran, kesantunan, serta rekam jejaknya baik di lingkungan social, lingkungan kerja, lingkungan keluarga maupun lingkungan pendidikannya. Kompetensi tanpa integritas akan sangat mengerikan. Hakim yang baik dihasilkan melalui proses rekrutmen dan seleksi yang ketat, transparan, obyektif, terukur, berdasarkan standard yang tinggi. Dilakukan oleh lembaga yang kredibel. Untuk dapat direkrut dan diangkat menjadi hakim diperlukan standard yang tinggi.

Lebih tinggi dbandingkan standard bagi aparat penegak hukum yang lain. Mengingat kedudukan dan kewenangan hakim yang sedemikian besar itu. Penguatan integritas dan kompetensi hakim ditentukan sepanjang karirnya. Jati diri seorang hakim juga terus ditempa dan dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan kerja, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, selera. Termasuk cara dan gaya hidup, asupan rohani, asupan intelektual yang kesemuanya akan terakumulasi dan menjadikannya sebagai hakim yang baik ataukah sebaliknya. Pola promosi dan mutasi hakim seharusnya dilakukan secara obyektif berdasarkan standard yang ketat, bukan karena like and dislike.

Menjadi hakim yang baik tidak harus miskin. Bahkan samasekali tidak boleh miskin. Justru ketika hakim yang telah terpenuhi standard kesejahteraan hidupnya, maka ia akan dapat bekerja dengan tenang dan fokus. Sebagaimana ungkapan, yang menyatakan bahwa kefakiran cukup dekat dengan kekufuran. Pada saat ini negara secara bertahap akan terus berupaya meningkatkan kesejahteraan hakim. Sebagaimana telah diwujudkan melalui PP No. 44 Tahun 2024, meskipun kehadiran sudah lama ditunggu, karena selama gaji dan kesejahteraan hakim tidak berubah selama 12 tahun. Diharapkan sudah tidak neko neko dan tidak mudah tergoda menyalahgunakan kewenangannya.

Menjadi ironi, ketika seorang hakim begitu tega mengorbankan keluhuran harkat dan martabat serta sumpah jabatannya untuk memperjualbelikan keadilan melalui putusannya. Terhadap hakim ataupun aparatur peradilan harus diterapkan zero tolerance terhadap segala bentuk perbuatan kolutif dan koruptif. Sikap permissiveness terhadap segala bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh penegak hukum, termasuk oleh hakim, akan terakumulasi menjadi penyebab runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan.

Menjadi hakim merupakan panggilan jiwa pengabdian terhadap penegakan hukum dan keadilan. Menjadi hakim merupakan profesi mulia (noble profession) dan profesi kesunyian (silent profession) yang seharusnya dalam kesehariannya sudah mulai menjauh dari segala hingar bingar kehidupan material. Hakim yang baik senantiasa dibayang bayangi perasaan kuatir, takut akan menanggung dosa, menerima adzab dan laknat dari Tuhan Yang Maha Esa, apabila telah keliru memutuskan suatu perkara. Hakim yang baik akan selalu mengalami kegelisahan bathiniah setiap kali hendak memutuskan sesuatu perkara yang diajukan kepadanya. Situasi tersebut selalu memunculkan pertanyaan pertanyaan filosofis – sufistik terhadap dirinya sendiri (self dialogue).

Apakah putusannya benar-benar telah dipertimbangkan sesuai kesucian dan kemurnian bathin - telah sesuai dengan kaidah hukum dan keadilan - serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ataukah sebaliknya bahwa putusan yang akan dijatuhkannya itu sejatinya sarat dengan pengaruh, tekanan, intervensi, atau konflik kepentingan dengan pihak-pihak berperkara. Hanya Tuhan Yang Maha Esa dan hakim itu sendirilah yang paling tahu dan merasakan.

Satu hal yang pasti, dan tidak akan dapat terbantahkan, bahwa Allah SWT Maha Tahu terhadap sekecil apapun setiap kebohongan maupun kebaikan yang telah dijalankan. Melalui putusan hakim akan ditentukan nasib pencari keadilan, termasuk juga nasib dan masa depan suatu masyarakat, bangsa dan negara. Sudah sepatutnya apabila “mata”, “telinga” dan “hati nurani” setiap hakim harus terus dibuka lebar lebar, dijaga secara konsisten keluhuran martabatnya, agar senantiasa bersikap sensitif, jujur, arif dan bijaksana, dalam menjalankan kewenangannya.

 

HARAPAN & TANTANGAN UNTUK KMA BARU

Prof Sunarto telah mengangkat sumpah dan dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Ibaratnya, sebagai nakhoda dari kapal besar yang bernama Mahkamah Agung dan badan badan peradilan di bawahnya. Nakhoda bertanggungjawab untuk membawa dan mangarahkan kapal mencapai tujuan yang diharapkan. Rekam jejaknya, integritas, kompetensi, gaya kepemimpinan, sudah sangat jelas menjadi nakhoda yang tepat. Bertolak dari berbagai peristiwa tersebut, sekaranglah saatnya membuktikan semboyan “kalau tidak bisa dibina, maka memang terpaksa harus dibinasakan”.

Diperlukan sikap dan tindakan tegas terhadap semua jajarannya, serta memberikan keteladanan yang baik. Nakhoda yang baik, berhasil mencapai tujuan setelah melalui ombak dan badai. Blue Print Mahkamah Agung menetapkan visi “mewujudkan badan peradilan yang agung” sangat mungkin diwujudkan. Saya percaya masih banyak hakim yang baik dan lurus, yang tetap menjaga harkat dan martabat peradilan. Tentu saja diperlukan komitmen bersama dan dukungan penuh semua pihak. Baik dari kalangan internal maupun eksternal. Sekarang saatnya bersih bersih, jangan ragu atau ditunda lagi. Selamat bekerja (BRW).

Editor : Hilman Himawan-ideNews)